Legenda Kawah Sikidang
Di dataran tinggi Dieng yang selalu diselimuti kabut lembut, pernah hidup seorang pangeran sakti bernama Kidang Garungan. Tubuhnya gagah, hatinya tulus, tetapi ia berwujud kepala kijang dan berbadan manusia. Meski begitu, mata sang pangeran menyimpan keteduhan yang mampu menenangkan siapa pun yang menatapnya. Dalam sebuah perjalanan kerajaan, Kidang Garungan melihat seorang gadis yang kecantikannya bagai sinar pagi menembus kabut Dieng. gadis tersebut bernama Ratu Shinta dewi, Dari sekali pandang, sang pangeran jatuh hati. Bukan hanya karena rupa sang Ratu, tetapi karena kelembutan tutur dan kebijaksanaan yang terpancar darinya. Kidang Garungan tahu dirinya berbeda, tetapi cinta membuatnya berani. Ia melamar Ratu Shinta dewi dengan hati penuh harapan. Ratu Shinta dewi sebenarnya terpesona oleh keberanian dan ketulusan sang pangeran. Namun rupa Kidang Garungan membuatnya bimbang. Ia tak ingin menyakiti hati seseorang yang begitu menghargainya, tetapi ia pun belum siap menerima cinta itu. Akhirnya, dengan hati berat, ia memberi syarat: “Pangeran… bila kau sungguh mencintaiku, buatlah sumur besar dalam satu malam untuk membuktikan ketulusanmu.” Kidang Garungan mengerahkan seluruh kemampuannya. Sepanjang malam tanah bergetar lembut, suara gemuruh terdengar dari balik bukit, dan cahaya panas memantul dari lubang besar yang ia gali. Ia bekerja bukan karena syarat, tetapi karena cinta. Namun Ratu Shinta Dewi tak menyangka pangeran itu bisa menyelesaikannya begitu cepat. Ia ketakutan—bukan karena benci, tetapi karena ia menyadari: sedalam itu cinta sang pangeran padanya, sementara ia masih ragu. Para pengawal yang panik akhirnya menutup sumur itu dengan anyaman bambu tebal, tanpa sempat ia hentikan. Kidang Garungan yang terjebak di dasar sumur merasakan duka mendalam. Ia tidak marah—ia hanya patah hati. Energi panas dari tubuhnya meledak, menciptakan kawah besar yang terus memuntahkan uap dan air panas. Itulah yang kini dikenal sebagai Kawah Sikidang. Orang-orang Dieng percaya bahwa gelembung lumpur dan uap panas itu adalah wujud kerinduan sang pangeran, yang tak pernah berhenti mencari Ratu Shinta dewi. Ia melompat dari satu titik ke titik lain, seolah ingin menemukan jalan kembali menuju cintanya. Hingga kini, setiap uap yang naik dari kawah dianggap sebagai bisikan lembut: “Cinta yang tulus tak akan hilang… ia hanya berubah bentuk.”
