Batu Ratapan Angin
Di dataran tinggi yang selalu diselimuti kabut keperakan, jauh sebelum Dieng dikenal sebagai negeri para dewa, berdirilah sebuah kerajaan megah bernama Kerajaan Mandalasari. Istana kerajaan itu menjulang di antara perbukitan hijau, dikelilingi telaga berwarna zamrud dan hutan yang seakan dijaga oleh roh leluhur. Mandalasari dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana, Prabu Suraatmaja, dan dari garis keturunannya lahirlah seorang putri tunggal yang kecantikannya disebut-sebut sebagai berkah langit: Putri Sembadra. Sembadra tidak hanya cantik, namun berhati lembut, pandai menari, gemar mendengarkan suara angin, dan sering menghabiskan waktu di lereng bukit yang kelak dikenal sebagai Batu Ratapan Angin. Ia percaya angin yang bertiup dari lembah Dieng membawa pesan, doa, dan bisikan dari dunia yang tak terlihat. Di sisi lain Dieng, berdirilah kerajaan tetangga bernama Kerajaan Lembah Arjuna, yang dipimpin oleh Prabu Gantala Wisesa. Dari kerajaan itu lahirlah seorang pangeran yang gagah dan cerdas bernama Pangeran Aryaseta. Sejak kecil, Aryaseta ditempa menjadi ksatria, namun hatinya selalu tertuju pada musik alam—suara dedaunan, aliran sungai, nyanyian burung, dan terutama hembusan angin pegunungan. Konon, ia bisa mengetahui arah musuh hanya dari arah angin yang berubah. Takdir mempertemukan mereka pada suatu pagi berkabut di puncak bukit tempat batu-batu besar berdiri seperti penjaga abadi. Sembadra sedang duduk sendirian, menatap Telaga Warna yang berkilau bagai permata hijau. Ia datang tanpa pengawal karena ingin merasakan ketenangan alam. Angin tiba-tiba bertiup kencang, dan selendangnya terbang terbawa angin. Sembadra berusaha mengejarnya, tetapi selendang itu justru jatuh ke kaki seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu membungkuk dan mengangkat selendang itu. “Ini milikmu, Putri,” katanya dengan suara yang halus namun tegas. Sembadra terkejut. “Darimana kau tahu aku seorang putri?” Aryaseta tersenyum. “Tak mungkin ada gadis biasa yang wajahnya bercahaya seperti embun pertama. Lagipula, angin memberitahuku.” Jawaban itu membuat Sembadra tersipu. Dari percakapan yang singkat, keduanya seperti menemukan bagian jiwa yang selama ini hilang. Mereka berbicara tentang langit, legenda Dieng, awan yang bergulung, dan tentang angin yang seakan mengetahui isi hati manusia. Sejak hari itu, mereka diam-diam bertemu di Batu Ratapan Angin. Aryaseta akan membawa seruling kayu, memainkan melodi lembut yang membuat burung-burung berhenti berkicau, sementara Sembadra akan menyenandungkan lagu-lagu tua yang diajarkan ibunya. Tanpa mereka sadari, cinta mereka tumbuh seperti bunga Edelweis: pelan, namun abadi. Namun cinta itu tak lama tersembunyi. Mandalasari dan Lembah Arjuna ternyata memiliki ketegangan lama: perebutan wilayah hutan di sisi timur Dieng. Para penasehat kerajaan berpendapat bahwa hubungan kedua keluarga kerajaan tidak boleh terjadi. Mereka menganggap pertemuan Sembadra dan Aryaseta sebagai ancaman yang dapat memperkeruh keadaan. Ketika Prabu Suraatmaja mengetahui hubungan sang putri dengan pangeran kerajaan rival, ia langsung memerintahkan agar Sembadra dikurung sementara waktu di istana. Para prajurit diperintahkan menjaga ketat seluruh gerbang, dan siapa pun yang mendekati bukit itu akan dianggap pengkhianat. Sembadra menangis setiap malam, memikirkan Aryaseta yang mungkin mencari dirinya. Berhari-hari pangeran itu menunggu di Batu Ratapan Angin, namun sang putri tak pernah muncul. Hanya angin dingin yang berhembus membawa kabar sedih. Aryaseta tahu sesuatu telah terjadi. Karena cintanya lebih besar dari rasa takutnya, ia memutuskan menyelinap ke Mandalasari di tengah malam. Namun aksinya diketahui pengawal istana. Ia ditangkap dan dibawa ke hadapan Raja Mandalasari. “Aryaseta,” ujar sang raja dengan suara berat. “Putriku bukan untukmu. Kau dan kerajaannu telah menyebabkan banyak luka di negeri ini.” Aryaseta menundukkan kepala, tetapi matanya tegas. “Prabu… izinkan aku menjelaskan. Cintaku kepada Putri Sembadra bukan urusan politik. Cinta kami murni, lahir dari pertemuan hati.” “Cinta tak akan menyatukan dua kerajaan yang bermusuhan,” jawab sang raja. “Pulanglah. Anggap ini peringatan terakhir.” Namun sebelum ia keluar, Sembadra yang mendengar keributan di aula istana berlari memeluk Aryaseta. Tangisnya pecah, membuat seluruh pasukan terdiam. “Ayah! Jangan pisahkan kami. Dia bukan musuh! Dia… dia adalah bagian dari jiwaku.” Raja Mandalasari memejamkan mata. Ia sangat mencintai putrinya, namun ia juga pemimpin yang harus menjaga kehormatan kerajaan. Dengan berat hati, ia berkata, “Jika kau tetap bersamanya, maka kau akan kehilangan Mandalasari. Kau tidak akan lagi menjadi putriku.” Kata-kata itu menghantam hati Sembadra seperti petir di musim hujan. Dengan air mata mengalir, ia melepaskan pelukan Aryaseta dan berkata lirih, “Aku tidak sanggup… aku tak bisa melawan ayahku.” Aryaseta merasakan sesuatu dalam dirinya hancur. Ia tak ingin membuat Sembadra kehilangan semuanya. Dengan suara bergetar, ia berkata, “Jika itu yang harus terjadi, aku pergi. Tapi cintaku padamu… akan tetap menunggu di Batu Ratapan Angin.” Ia meninggalkan istana tanpa melawan. Sembadra jatuh berlutut, menjerit, dan hampir pingsan. Malam itu angin seakan ikut menangis, merobek-robek kabut yang menutupi langit Dieng. Beberapa waktu kemudian, perang kecil pecah antara kedua kerajaan. Aryaseta terjun ke medan pertempuran untuk melindungi rakyatnya. Namun kabar yang datang ke Mandalasari sungguh mengejutkan: Aryaseta dinyatakan hilang ketika menyelamatkan prajuritnya dari serangan mendadak. Ketika Sembadra mendengar kabar itu, tubuhnya gemetar. Ia berlari keluar istana tanpa mempedulikan larangan siapa pun. Ia mendaki bukit itu, tempat cinta mereka tumbuh. Udara Dieng sore itu sangat dingin, tetapi ia tidak merasakannya. Di atas puncak batu itu, ia berdiri menghadap lembah, lalu memanggil nama Aryaseta berulang-ulang, semakin keras, seakan suaranya bisa membelah kabut. “Aryaseta… dengar aku… kembalilah…” Angin berhembus kencang, membawa suaranya mengelilingi dunia. Beberapa penduduk yang berada di lereng telaga mengaku mendengar suara tangisan yang menyayat hati dari arah bukit. Sembadra menangis hingga tubuhnya lemah. Ratapan panjang itu membuat batu-batu besar di sana seolah ikut meresapi kesedihannya. Konon, sejak malam itu, setiap angin kencang lewat di antara celah batu, terdengar suara mirip rintihan manusia—rintihan yang kelak membuat tempat itu dinamai: Batu Ratapan Angin Batu yang menyimpan cinta dua manusia dari dua kerajaan berbeda yang tak sempat bersatu. Beberapa legenda mengatakan bahwa roh Sembadra terus datang ke tempat itu, mencari Aryaseta. Ada pula cerita bahwa pada malam-malam tertentu, bayangan dua sosok dapat terlihat berdiri bersama di puncak bukit, berpegangan tangan, seolah mereka bertemu kembali di alam yang tak mengenal perbedaan kerajaan ataupun takdir. Semua yang mendaki bukit itu hingga kini masih dapat merasakan hembusan angin yang berbeda—lembut namun penuh kesedihan. Banyak yang percaya itu adalah napas cinta Sembadra dan Aryaseta yang tak pernah padam. Dieng menyimpan kisah itu dalam kabut, menunggu siapa pun yang ingin mendengarnya kembali.
Konten postingan
