“ Penduduk Pertama di Dieng ”

Dieng adalah sebuah dataran tinggi vulkanik yang berada di Jawa Tengah, tepatnya berada di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Nama “Dieng” berasal dari bahasa Sanskerta: “Di” = Tempat Tinggi / Gunung “Hyang” = Para Dewa Sehingga Dieng berarti “Tempat Tinggal Para Dewa.” Ketinggian Dieng berada pada 2.000 – 2.300 meter di atas permukaan laut, membuatnya menjadi salah satu kawasan beriklim paling dingin di Indonesia. Pada musim kemarau, suhu bisa mencapai 0°C hingga -3°C, dan muncullah fenomena embun es atau bun upas. Keindahan Dieng bukan hanya pada alamnya, tetapi pada sejarah panjang yang tersembunyi di balik candi-candi tua dan legenda-legenda masyarakatnya. Pada abad ke-7 hingga 8 Masehi, Dieng merupakan pusat pertapaan dan pemujaan agama Hindu Siwa. Para peneliti menemukan bahwa: Candi-candi di Dieng adalah candi tertua di Pulau Jawa, bahkan lebih tua dari Borobudur dan Prambanan. Candi-candi tersebut bukanlah pusat kerajaan besar, tetapi kompleks pemujaan. Banyak ahli meyakini bahwa yang tinggal di Dieng saat itu adalah para resi, brahmana, pendeta, dan kelompok spiritual Hindu. Mereka datang bukan untuk bercocok tanam, tetapi untuk bermeditasi, mengajar ajaran suci, dan memimpin ritual. Dieng dipilih karena dianggap sebagai puncak dunia, tempat yang dekat dengan para dewa. penduduk pertama Dieng bukan suku tertentu, melainkan umat Hindu. Pada masa ketika kerajaan-kerajaan Nusantara masih berupa pemukiman kecil yang terpencar-pencar, Dieng telah menjadi tempat yang diselimuti kepercayaan mendalam. Letaknya berada di pegunungan vulkanik yang aktif, namun justru di situlah para leluhur melihat sebuah tanda: mereka percaya bahwa gunung dan kawah bukanlah sekadar fenomena alam, tetapi pintu menuju alam ilahi. Sebelum manusia biasa tinggal di sana, Dieng dihuni oleh kelompok spiritual, para pendeta dan resi yang mendedikasikan hidupnya untuk memuja dewa-dewa Hindu kuno. Mereka bukan pasukan perang, bukan pula pembangun kerajaan besar. Mereka adalah penjaga ritual, penyambung suara alam, dan pengamat bintang yang percaya bahwa dunia atas dan dunia manusia dapat dipersatukan melalui meditasi dan pengorbanan suci. Mereka membangun gubuk-gubuk kecil, menyalakan api pemujaan di dekat kawah yang menguap hangat, dan menempatkan altar-altar batu di titik-titik tertentu. Setiap pendeta memiliki tugas: ada yang menjaga Kawah Sikidang, ada yang menjaga Telaga Warna, ada pula yang mengamati pergerakan matahari dari bukit-bukit tinggi. Ratusan tahun kemudian, ketika peradaban Hindu berkembang di Nusantara, para raja dan bangsawan mengetahui keberadaan tempat suci ini. Mereka mengirimkan ahli batu, pekerja, dan pendeta kerajaan untuk membangun bangunan permanen sebagai penghormatan kepada dewa-dewa. Maka berdirilah candi-candi yang kini dikenal sebagai Kompleks Candi Arjuna. Namun candi di Dieng tidak seperti candi di wilayah lain. Tidak megah, tidak berornamen rumit, dan tidak berukuran besar. Mengapa? Karena candi di Dieng bukan dibangun untuk kemegahan politik atau kejayaan kerajaan, melainkan untuk memfasilitasi komunikasi spiritual. Ia dibuat sederhana agar tidak mengganggu kesunyian alam. Ia diletakkan di dataran terbuka agar ritual bisa menyatu dengan kabut, angin, dan cahaya matahari. Para ahli sejarah percaya bahwa para pendeta tinggal langsung di sekitar candi, menjalankan meditasi, memuja dewa, dan menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Penduduk awal Dieng bukanlah petani atau pedagang seperti masyarakat Jawa pesisir. Mereka adalah: Para pendeta Para resi Para penjaga ritual Sebagian kecil pengrajin dan pembantu ritual Mereka hidup berdampingan dengan badai, kabut, dan suhu dingin ekstrem. Tidak banyak orang mampu bertahan di suhu dingin Dieng, namun para penjaga ritual telah menganggapnya sebagai bagian dari laku spiritual. Mereka percaya: “Semakin tinggi tanah, semakin dekat jiwa dengan alam suci.” Baru setelah banyak abad berlalu, setelah kekuasaan kerajaan Hindu melemah dan pedagang mulai membuka jalur baru, barulah masyarakat umum mulai tinggal di Dieng—menjadi petani kentang, bawang, dan sayuran yang kini kita kenal.

5/8/20241 min read

A cozy workspace with a laptop and a cup of coffee beside a window.
A cozy workspace with a laptop and a cup of coffee beside a window.

Blog baru